Kegiatan Macapat di Suriname

I. PENDAHULUAN 
Wilayah Suriname mulai dikenal luas sejak abad 15, yaitu ketika bangsa-bangsa 

Eropa berlomba menguasai Guyana yang waktu itu wilayahnya mencakup kawasan Guyana bekas jajahan Inggris, Guyana Perancis yang sampai sekarang masih di bawah administrasi Pemerintah Perancis, dan Suriname (merdeka dari jajahan Belanda pada tanggal 25 November 1975). 

Suriname dengan Ibu Kota: Paramaribo terletak di Amerika Selatan, dengan batas-batas di Utara: Samodra Atlantik, Selatan: Brazil, Timur: Guyana Perancis, Barat; Guyana-bekas jajahan Inggris. 

Berdasarkan data ABS (Algemeen Bureau Statistiek) tahun 2008, penduduk Suriname berjumlah 498.53 – sekarang sekitar 500.000 orang dengan komposisi: etnis Afro-Suriname (Djuka dan Creole) 32%, etnis Hindustan 27%, etnis Jawa 18% atau sekitar 75.000 orang. Yang lain-lain 23% di antaranya: China, Brazil, Lebanon. 

Dengan dihapusnya perbudakan pada tanggal 1 Juli 1863, kehidupan ekonomi semakin tidak menentu, karena para penjajah mengalami kesulitan dalam memperoleh tenaga-tenaga buruh murah untuk eksploitasi perkebunan mereka. Pada tahun 1870 Pemerintah Belanda menandatangani sebuah perjanjian dengan Inggris untuk mendatangkan imigran ke Suriname. Perjanjian ini dilaksanakan mulai tahun 1873 di mana rombongan imigran Hindustan pertama dari India didatangkan. Kedatangan rombongan berikutnya adalah para imigran dari pulau Jawa – Hindia Belanda yang mulai tiba di Suriname tanggal 9 Agustus 1890. Rombongan pertama mendarat di Distrik Commewijne tanggal 9 Agustus 1890. Oleh komunitas keturunan Jawa di Suriname, tanggal tsb kini setiap tahun diperingati sebagai Hari Imigrasi Jawa di Suriname dengan upacara dan sejumlah atraksi hiburan khusus seni-budaya yang bersifat kejawaan. 

Sebelum mendatangkan para imigran Hindustan dan Jawa, para imigran Creoles telah lebih dahulu didatangkan dari Afrika oleh Inggris ketika Pemerintah Inggris masih menguasai Suriname saat itu (1665-1814). 

Kedatangan orang-orang etnis Jawa di Suriname tidak saja membawa orang-orang/keluarganya tapi juga seni-budaya Jawa yang ada pada waktu itu di Tanah Jawa – Hindia Belanda. 

Sebagaimana yang terjadi di Indonesia, khususnya Tanah Jawa, kedudukan macapat dalam seni-budaya Jawa di Suriname juga makin melemah dan tidak/belum mendapatkan bantuan (khususnya pendanaan) yang memadai, tidak/belum mendapatkan rawatan dari Pemerintah, demikian pula masyarakatnya pasif, apalagi generasi mudanya. 

Penulisan singkat yang disampaikan pada Sarasehan Ikatan Mahasiswa Bahasa dan sastra Daerah se-Indonesia (IMBASADI) 2010—Macapat: Warisan Budaya Dunia yang diselenggarakan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, tanggal 9-12 Februari 2010 ini dirangkum secara populer, bukan sajian penelitian akademis. Namun demikian, diupayakan sejauh mungkin obyektif, mengingat bahan utamanya adalah observasi di lapangan semasa penulis menjadi Duta Besar RI untuk Suriname merangkap Guyana dalam kurun waktu 4 Desember 2002-10 Januari 2006. Di samping itu, penulis juga melakukan kunjungan kerja ke Suriname dalam rentang waktu 18 Mei-2 Juni 2009 dan 6-20 Agustus 2009 membantu investor Indonesia berinvestasi di Suriname. Penyajian tulisan ini juga didukung dengan substansi dari laporan sejumlah sumber baik pemerintah maupun swasta, studi kepustakaan yang diperlukan serta wawancara dengan berbagai personalia terkait, khususnya di Suriname dalam beberapa periode waktu tersebut di atas. . 

II. SENI BUDAYA BERAROMA JAWA YANG MASIH EKSIS DI SURINAME 
DAN PROSPEK MEREKA PADA MASA MENDATANG 
Cabang-cabang seni-budaya Jawa yang masih dapat kita saksikan di Suriname sampai saat ini antara lain: wayang kulit purwa dengan jumlah dalang tinggal 5 orang (lima belasan tahun yang lalu ada 10 orang dalang), dari 5 dalang tersebut, 4 orang sudah berumur lebih dari 60 tahun, sinden 3 orang; kemudian ada jaran kepang/jathilan, tayuban, pencak-silat, reog Ponorogo. Tradisi pengantin Jawa yang kadar kejawaannya hanya tinggal sekitar 30%, tingkeban/7 bulan kehamilan-masih dapat kita temui di sana. Ada pula hiburan yang disebut kabaret Jawa, semacam dagelan gaya ludruk dengan bahasa Jawa campur Belanda. Jenis musik yang tetap populer adalah lagu-lagu-nyanyian musik bercorak Jawa-berirama campur sari, juga pop-Jawa. Penyanyi-penyanyi Jawa yang cukup dikenal sudah pernah berkunjung ke Suriname, dari Waljinah sampai Didi Kempot dan puluhan penyanyi Jawa yang lain. Di samping itu sejumlah penyanyi non Jawa juga pernah melakukan pertunjukan di Suriname. 

Dengan makin derasnya arus globalisasi yang melanda dunia, juga berdampak pada makin tergerusnya seni-budaya dan bahasa Jawa di Suriname. Generasi muda sudah mulai lebih menyukai berbahasa Belanda, Inggris dan belakangan juga Spanyol. Demikian pula cara berpakaian, khususnya wanita lebih senang meniru gaya Barat (Eropa) dan Amerika Latin. Generasi muda Jawa makin banyak yang lebih senang dengan dansa (khususnya salsa dan marenge) daripada tarian Jawa 

Hal ini memang masuk akal terjadi di sana, antara lain karena: 
  1. Bahasa nasional/bahasa resmi di perkantoran, bisnis, sekolahan adalah Belanda di samping bahasa Inggris juga makin banyak digunakan. Bahasa Jawa hanya digunakan oleh kalangan komunitas Jawa di distrik tertentu: Commewijne, Wanica, Saramaca, Nickerie, Coronie dengan prosentase yang terus mengecil. Menurut riset terakhir (tahun 2009) yang dikoordinir oleh Drs. Kadi Kartokromo, salah seorang direktur lembaga riset di Paramaribo menyebutkan bahwa: tinggal 15% keturunan Jawa di perkotaan masih suka menggunakan bahasa Jawa, sedang di pedesaan lebih kurang 40%. Pada kalangan usia di atas 45 tahun ke atas di pedesaan masih 50%, sedangkan di kota kurang dari 30%. 
  2. Pemerintah tidak/belum memberikan arahan maupun dana untuk memelihara bahasa, seni-budaya tradisional etnis yang ada, melainkan hanya membiarkan bahasa, seni-budaya berbagai etnis itu tetap hidup dan diurus sendiri-sendiri oleh mereka termasuk Jawa. 
  3. Secara geografis letak Suriname dikelilingi negara-negara yang berbahasa Spanyol, Portugal, Inggris, pengaruh Belanda yang sangat kuat serta sangat jauh dari Pulau Jawa – Indonesia. 
  4. Dibandingkan dengan bantuan yang diberikan oleh Pemerintah India dan China dalam membina pelestarian seni-budaya etnis mereka di Suriname, bantuan yang diberikan Indonesia kepada etnis Jawa Suriname sangat minim. Sebagai contoh: Pemerintah China dan India membantu pendirian dan pengisian sekolah-sekolah etnis China dan India secara teratur. Sedangkan Indonesia hanya menyelenggarakan kursus bahasa Indonesia dan Jawa serta tari-tarian daerah di KBRI Paramaribo. Bila dibandingkan dengan masa Pemerintahan Presiden Soeharto dengan presiden-presiden RI sesudah beliau, bantuan yang diberikan Indonesia dalam kaitan tersebut di atas makin minim. 
  5. Beasiswa melalui Kementerian Pendidikan Nasional RI juga sangat terbatas, paling dalam satu tahun ajaran hanya memberikan 1-2 beasiswa.
  6. Kita menyadari kemampuan Pemerintah RI sendiri untuk berbenah diri dalam berbagai urusan juga kurang dana. 
Melihat situasi di atas, maka baik di Indonesia maupun, apalagi di Suriname, Pemerintah sangat sulit memberikan bantuan dana tetap bagi pengembangan dan pemeliharaan seni-budaya Jawa. Apalagi dalam kerangka NKRI, Pemerintah RI harus memberikan perhatian yang sama atau minimal proporsional terhadap suku-suku/etnis lain yang ada di seluruh Indonesia demi konsistensi pada Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan Pancasila. 

Dalam menghadapi persoalan ini, sebenarnya apabila komunitas Jawa se Indonesia apalagi sedunia dapat memobilisasi dan menghimpun dana semacam endowment fund (dana yang dikelola bersama dan bunganya untuk membiayai kegiatan bersama), kiranya dapat membantu pemeliharaan dan pengembangan seni-budaya tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di luar, termasuk Suriname dan di negara-negara lain. Kalau dipikir mendalam memang ini merupakan idealisme. Namun, bukankah sesuatu realita asalnya dari idealisme, cita-cita dan pemikiran? 

(Ingat, apabila seorang Jawa menyumbang sebesar Rp100.000 X 20.000.000 juta orang akan terkumpul dana Rp 2.000.000.000.000,- atau Rp. 2 trilyun. Itu baru sekali menyumbang dan hanya Rp100.000. Betapa besar jumlah iuran itu bila dilakukan setahun sekali bayar Rp 100.000? Tentu kita tidak perlu memungut orang-orang yang tidak mampu iuran Rp100.000,- Penulis yakin, para pengusaha, milyarder Jawa mampu untuk iuran lebih dari Rp100.000!!). Dengan adanya endowment fund tersebut, kalau ada kegiatan, kita tidak terlalu dipusingkan mencari dana dengan membuat proposal, dan thethek - bengek itu). Mungkin kita akan pusing karena dana kita terlalu banyak! Marilah kita renungkan, pikirkan dan laksanakan bersama idealisme ini ! 


III. KEADAAN MACAPAT DI SURINAME 
Sengaja penulis katakan sebagai keadaan, bukan perkembangan macapat, sebab yang terjadi hingga saat ini bukannya macapat di sana mengembang, tetapi makin mengempis. Kembang-kempis! 

Apakah masih cukup rutin masyarakat Jawa Suriname bermacapatan? Biasanya dilakukan pada bulan Besar, Suro dan Sapar pada acara kendurenan, di mana salah satu acaranya tetembangan dan macapat. Mereka yang macapatan umumnya para sepuh, kebanyakan berumur di atas 60 tahun, ada di antara mereka menggunakan buku yang bertulisan ha-na-ca-ra-ka sebagai bahan macapatannya. 

Kegiatan macapatan tersebut diselenggarakan di rumah sesepuh kelompok di desa - perdistrikan tertentu yaitu di Lelydorp (Wanica), Kampoeng Baroe (Saramacca), Voorburg (Commewijne) dan Domburg (Para). Acara-acara mereka cukup sering disiarkan oleh TV Garuda apabila wartawan “Kapten Does” (Salimin Ardjo Oetomo, yang sudah 3 kali berkunjung ke Indonesia) datang meliputnya. 

Nama-nama tokoh masyarakat Jawa Suriname yang biasanya melakukan/mengordinasi penyelenggaraan macapatan antara lain: Pak Soelijo, Pak Soeloso, Mbak Rose, Johan Mertosetiko, Pak Wagimin Kendhang, Pak Parioon Madanom, Pak Kaseran, Pak Slamet Voorburg. Di Suriname tidak/belum ada perkumpulan khusus untuk macapatan, melainkan diselenggarakan oleh organisasi/perkumpulan Kejawen yang saat ini jumlahnya ada 13, bergabung dalam Federatie Njawidjie Agami Djawi di bawah pimpinan Pak Harold Posetiko (sekarang menjadi caleg Parpol Pertjaja Loehoer). Nama-nama perkumpulan Kejawen di Suriname: Soenaring Moelja Sedjatie, Tjarito Woedjoed Ngesti Toenggal, Rahajoe Poernama Kasidan Djatie, Langgeng Trisno, dll. 


IV. APAKAH SOLIDARITAS KEJAWAAN SEDUNIA DAPAT SALING MEMBANTU? 
Komunitas keturunan Jawa di Suriname merupakan jumlah terbesar di dunia setelah orang-orang etnis/suku Jawa di Indonesia. Penduduk Jawa Suriname sekitar 75.000 orang dari jumlah penduduk Suriname sekitar 500.000. Etnis Jawa di Indonesia (di Pulau Jawa dan pulau-pulau di luar Jawa setidaknya ada sekitar 75 juta orang), di Belanda sekitar 25an ribu orang, di New Caledonia 10 ribuan orang, di Guyana Perancis 300an orang. Di lain-lain negara diperkirakan jumlahnya ada 2000an orang. Sekarang apabila kita bersama dapat memobilisasi hanya 20 juta saja orang Jawa sedunia yang bersedia membangun endowment fund, kiranya sejumlah dana cukup besar dapat terkumpul dan terus terjaga. Tentunya profesionalisme dan transparansi dalam mengumpulkan dan mengelola dana mutlak diperlukan. Dana ini dapat digunakan bersama oleh etnis Jawa sedunia. Contoh kegiatan semacam ini (membentuk endowment fund) yang sudah berjalan, dapat dilaksanakan di dunia yaitu oleh etnis-etnis/ras China, India, Israel/Jahudi. 

Cara konkretnya buat kita bagaimana? Apabila orang-orang Jawa membiasakan berpikiran dan melaksanakan: “Apa yang dapat saya berikan untuk kemajuan seni-budaya Jawa?” Bukan sebaliknya: “Apa yang dapat saya peroleh karena mengorganisir potensi Jawa, seni-budaya Jawa sedunia!”, kiranya kemajuan yang nyata dan dana melimpah dapat lebih mudah terwujud. 

Sebagaimana solidaritas etnis, atau suku-suku apa saja di Indonesia maupun yang tersebar di berbagai penjuru dunia, etnis-suku Jawa sebenarnya dapat menghimpun potensinya pada wadah kebersamaan–persatuan dalam keberagaman di bawah Bhinneka Tunggal Ika, khusus di dalam negeri dalam semangat NKRI berdasar Pancasila. Sedangkan terhadap etnis, suku/keturunan yang berada di luar negeri, dalam tulisan ini maksudnya etnis-suku Jawa di Suriname dan bagian dunia lain dapat saling membantu, kerjasama dilandasi panggilan jiwa, kebanggaan dan sifat atau ciri-ciri umum orang Jawa: yang senang pada hidup dengan keharmonisan-keseimbangan, saling menghormati sesama manusia, menghormati pluralisme-perbedaan, berbudi pekerti luhur serta idealisme besar: memayu hayuning bawana-memperindah dunia yang sudah indah ini. 

V. KESIMPULAN/SARAN 
Sebagaimana terjadi di Indonesia, kegiatan seni-budaya macapatan tidak/belum mengalami kemajuan yang berarti, keadaan di Suriname bahkan lebih memprihatinkan. 

Selama ini penduduk keturunan Jawa di Suriname dapat mempertahankan seni-budaya Jawa secara sebisanya, termasuk dalam hal ini macapat. Upaya-upaya tersebut dilandasi kecintaan-kebanggaan dan penghormatan pada leluhur, nenek-moyang dan negara asal mereka: Tanah Jawa di Indonesia. Namun demikian, semangat ini khususnya pada generasi muda dari hari demi hari makin menipis, meluntur—termasuk semangat dan kegiatan macapatan. Apabila orang-orang Jawa menyadari akan perlunya solidaritas Jawa sedunia, kiranya bila keadaan di Indonesia sendiri sudah makin baik, maka bantuan buat rekan-rekan di Suriname dan bagian dunia lain dapat lebih dipikirkan serta dilaksanakan. 

Tergantung pada orang-orang Jawa sendiri, etnis Jawa baik di Tanah Jawa-Indonesia maupun yang tersebar di seluruh penjuru dunia untuk mempertahankan, memelihara, mengembangkan dan melestarikan bahasa serta seni-budaya Jawa termasuk macapat. Upaya ini dapat diperlancar apabila ada tekad bersama yang terorganisasi dengan baik, dan mampu menghimpun dana bersama yang dikumpulkan secara sabar dan teratur guna membiayai berbagai kegiatan kejawaan baik di Indonesia maupun di berbagai penjuru dunia. Dengan adanya dana tetap dalam jumlah yang memadai misal dalam bentuk endowment fund, maka berbagai kegiatan kejawaan tidak terlalu tergantung pada Pemerintah karena komunitas Jawa sedunia mampu mengupayakan pengumpulan dana tersebut. 

VI. PENUTUP 
Demikian tulisan singkat ini disajikan pada acara Sarasehan IMBASADI JAWA-BALI 2010 di Universitas Indonesia, semoga ada manfaatnya. 

Jakarta, 7 Februari 2010 
Penulis, 
Suparmin Sunjoyo 


DAFTAR PUSTAKA 
  • Hardjo, S.M. – 1989. Bunga Rampai - Dari Suriname Ke Tongar. Balai Pustaka. 
  • Kedutaan Besar Republik Indonesia, Paramaribo - 2003. Partisipasi Orang Jawa Dalam Politik Dan Perkembangannya di Suriname. 
  • Kedutaan Besar Republik Indonesia, Paramaribo - 2004. Keterangan Dasar Republik Suriname.
  • Kedutaan Besar Republik Indonesia, Paramaribo - 2005. Laporan Tentang Seminar Internasional Bahasa Jawa. 
  • Mandali, Ki Sondong-2007. Tengara; Bawarasa: Menelisik Ideologi Jawa ‘Panunggalan’. Majalah SASMITA. 01, September 2007. 
  • Pradipta, Budya, Prof., Dr. – Agustus 2008. Bahasa Jawa Dalam Kehidupan Sehari-hari. 
  • Suparlan, Parsudi-1995. The Javanese in Suriname. Program for Southeast Asian Studies – Arizona State University, Tempe, Arizona. 

No comments:

Post a Comment